LEGENDA SENDANG COYO

  • Feb 21, 2023

LEGENDA SENDANG COYO

PRAKATA

 

 

          Adalah sebuah  cerita  yang  menyebar di  pedesaan , khususnya di dusun

Coyo, desa Mlowokarangtalun. Cerita ini berawal dari kerajaan  Majapahit,yang

wilayahnya menjangkau sampai di luar wilayah Nusantara. Namun makin lama makin suram, karena kurang kebijakan dan kawibawaan Pembesar  dan Pejabat kerajaan. Raja-raja kecil yang semula takluk, satu per satu melepaskan diri, dan menyatakan daerah merdeka. Lebih-lebih dengan munculnya Agama baru, yaitu Agama Islam, kebudayaanpun semakin suram, Agama Hindu dan Budha semakin terpojok.Sebaliknya Agama Islam semakin berkembang bagai cendawan tumbuh di musim penghujan.

          Penyiaran dan penyebaran Agama Islam dilaksanakan oleh para  Wali , yang jumlahnya ada sembilan. Setiap saat mereka berkumpul untuk berunding,guna menentukan langkah dan kebijakan yang akan dilaksanakan. Dengan demikian membutuhkan suatu tempat yang tetap. Timbullah suatu kesepakatan untuk mendirikan Masjid Agung. Maka dipilihlah sebuah tempat yang tinggi, dengan maksud kalau sewaktu-waktu datang mungsuh yang akan membuat kacau dapat diketahui sebelumnya. Sedang tempat yang mereka sepakati adalah Pegunungan Kendeng.

 

 

PEGUNUNGAN KENDENG

 

 

          Disebut Pegunungan Kendeng, sebab waktu itu merupakan hutan lebat dan pohon yang besar-besar,maka tidak mustahil adanya kabut yang tebal. Jika di lihat dari kejauhan seperti asap api ( Jw. Kumendheng ), maka tempat itu disebut Pegunungan Kendeng. Tempat itu kalau diukur dengan cermat merupakan pertengahan Pulau Jawa ( Pusering Tanah Jawi ).Merupakan tempat yang subur makmur. Batas wilayah ini : sebelah timur Sungai Soco, sebelah selatan Bengawan Solo, sebelah barat Sungai Peganjing dan sebelah utara Sungai Lusi.

          Kembali ke Masjid Agung. Pendirian masjid tersebut direncanakan di puncak Pegunungan, yang disebut Sigit. Berdatanganlah ke situ para Wali, Sahabat, bahkan para Kyai dan Santri.Namun baru membangun Jerambah ( lantai ), salah seorang di antara Sahabat menderita sakit dan akhirnya wafat. Dia bernama Syeh Jupri al Jauhari Saifulloh. Jenazahnya dimaqamkan di situ juga. Peristiwa itu dianggap sebagai penghalang berdirinya Masjid Agung, maka para Walipun kembali ke tempat masing-masing. Sekarang Sigit merupakan tempat yang bersejarah, setiap saat ramai dikunjungi para Santri dari berbagai daerah, termasuk Demak, Rembang, Jepara dan bahkan dari daerah Pasundanpun datang ke situ. Mereka memerlukan datang untuk berziarah, layaknya mengunjungi makam-makam para Wali. 

          Sigit terletak di tengah hutan, tepatnya pada Anak Petak  8.e, Kelas hutan LDTI  seluas  0,80 Ha. Petak ini termasuk RPH  Senggot, BKPH  Jambon termasuk KPH  Gundih. Tempat tersebut dikelola dengan rapi oleh penduduk dusun Condro bekerja sama dengan LMDH Desa Jambon. Disebelah selatan Maqam Syeh Jupri, ada suatu tempat yang agak tinggi namun rata, yaitu  Jerambah yang dibangun para  Wali, sebagai lantai  Masjid Agung tersebut.Di atas jerambah tersebut sekarang sudah terbangun Mushola oleh warga Condro.

Adapun jalan yang menuju ke tempat tersebut : dari perempatan Panunggalan ke Selatan menuju arah Coyo, sampai di perempatan Dusun Mambung belok kanan ke arah Desa Pojok. Sampai di akhir Desa Pojok, di perbatasan dengan Desa Jambon, belok ke kiri melewati jalan sempit, namun cukup dilewati mobil. Kalau hujan sedikit licin agak berbahaya. Lebih aman dari perempatan Dusun Mambung lurus langsung menuju Sendang Coyo, baru belok kanan sampai ke tujuan.                  

 

 

SENDANG  COYO

 

 

          Sekembalinya para Wali dari Sigit, mereka bermusyawarah, dengan kesepakatan Masjid Agung akan didirikan di Glagah Wangi. Merekapun berkewajiban untuk mencari dan mengumpulkan bahan bangunan, termasuk Kanjeng Sunan Kalijaga. Pada waktu berada di Sigit, beliau mengetahui bahwa di sebelah selatan Sigit ada pohon jati yang besar dan tinggi serta lurus. Setinggi  lima belas meter, baru tumbuh cabang-cabangnya.Karena baiknya jati tersebut maka orang menyebutnya JATI BAGUS. Sayang sekali nama tersebut tinggal sebuah kenangan, sebab pohon tersebut sudah dijarah para Blandong yang tidak bertanggung jawab, sekitar tahun 1960 an. Pohon tersebut terletak di Petak 33, termasuk RPH  Ngoripuyang, BKPH  Panunggalan, KPH  Gundih.

          Mengetahui keberadaan pohon jati tersebut ( pada waktu itu ) Kanjeng Sunan Kalijagapun berkeinginan menebangnya untuk bahan Soko Guru Masjid Agung yang akan dibangun. Maka berangkatlah Beliau diikuti para Sahabat, para Kyai dan para Santri menuju lokasi tersebut. Ditengah perjalanan tibalah saatnya waktu Dhuhur. Merekapun hendak melaksanakan ibadah sholat dhuhur sambil melepaskan lelah. Namun tidak dijumpai air untuk berwudlu. Merekapun berpencar untuk mencari air,kecuali seorang ditinggal guna menjaga tongkat Kanjeng Sunan yang ditancapkan di tanah. Dimungkinkan tongkat itu bertuah, karena itu perlu dijaga. Sang Penjaga bernama Syeh Maulana Habib Hasan Al Idris, seorang Agamawan dari Tanah Persi. Sebelum pergi Kanjeng Sunanpun berpesan, jangan sekali-kali meninggalkan tongkat.

          Perjalanan Kanjeng Sunan menuju ke arah timur. Sampai di suatu tempat, alangkah gembiranya karena tercapai apa yang diinginkan, ditemukannya sumber air yang mancur bagai sebuah pancuran. Sambil bersyukur, beliaupun mensucikan diri, dan dimungkinkan juga sambil melepaskan dahaga. Setelah puas tidak lupa beliau berdoa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tempat itu sekarang disebut Dusun  Coran  ( mungkin dari kata Pancuran ).

          Dibenak Sang penjaga tongkat, Syeh Maulana Habib Hasan Al Idris merasa gelisah dan cemas, sebab pencarian air dianggap terlalu lama. Maka beliau ingin menyusul mereka. Karena pesan Kanjeng Sunan tidak boleh meninggalkan tongkat, maka dicabutnya tongkat tersebut untuk dibawa pergi. Namun apa yang terjadi ? Bekas tancapan tongkat itu menyemburlah mata air yang sangat besar dan deras, sehingga Syeh Maulana Habib Hasanpun tidak mampu menahannya. Semakin lama airpun semakin membesar, semakin lama semakin menggenang, terciptalah sebuah telaga kecil yang disebut sendang, sehingga Habib Hasanpun tenggelam di dalamnya, akhirnya diapun wafat. Jenazahnya terapung, seperti terapungnya sebatang gabus.

          Kembali kepada keadaan Kanjeng Sunan. Setelah semua keinginannya terpenuhi, maka Beliaupun segera kembali ketempat dimana tongkatnya ditancapkan. Dalam perjalanannya, Beliau terheran-heran melihat air yang mengalir seperti aliran pada talang. Padahal pada waktu kepergiannya tidak dijumpai air sama sekali. Tempat itu sekarang menjadi Dusun  Talang. Perjalananpun dilanjutkan dengan menyusuri aliran air tersebut, yang berakhir pada sebuah sendang. Alangkah terkejutnya Kanjeng Sunan melihat di atas Sendang terdapat mayat yang mengapung seperti Gabus. Setelah diamati ternyata mayat tersebut adalah Habib Hasan Al Idris. Maka sejak itu bertambahlah namanya sebagai alias, yaitu Panembahan Kyai Gabus. Wajah Sang Panembahan tampak cerah, bahkan seolah-olah bercahaya. Maka sendang itu disebut Sendang Cahaya, yang oleh lidah Jawa menyebutnya Sendhang Coyo. Jenazah Sang Panembahan kemudian dikebumikan disitu juga, di sebelah tenggara Sendang, dirawat oleh seorang Juru Kunci dengan rapi, sebab sewaktu-waktu dikunjungi para Santri dari segala penjuru untuk berziarah. Terlebih pada bulan Sura, khususnya pada Hari Jumat Legi. Di samping maqam tersebut sekarang telah berdiri sebuah Mushola yang dibangun oleh pihak Perhutani. .                                                                               

          Terbawa oleh emosi dan amarah, maka Kanjeng Sunan membuang tongkat tersebut dengan melemparkannya ke arah barat. Karena tongkat itu terbuat dari bambu, dan ujungnya masih menempel tanah basah ( gedibal ), maka tongkat itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi hutan bambu, yang disebut bambu Gedibal. Hutan ini berkelas LDTI seluas 0,90 Ha, di RPH  Senggot, BKPH  Jambon, KPH  Gundih. Inilah cerita tentang munculnya nama SENDANG  COYO.

          Selanjutnya, wafatnya Habib Hasan Al Idris juga dianggap sebagai rintangan berdirinya Masjid Agung. Maka Kanjeng Sunan Kalijaga diikuti oleh segenap rombongan pulang dengan tangan hampa. Sedang para Wali yang lain sudah mendapat bahan bangunan. Dengan demikian Masjid Agung  tetap  akan didirikan. Bagaimana halnya dengan Sunan Kalijaga ? Dengan segala upaya Beliau tetap bertanggung jawab terwujudnya sebuah Saka Guru. Maka dibuatnyalah tiang itu dari serpihan kayu yang disebut tatal. Biarpun dari tatal, namun kekuatannya tidak kalah dengan tiang-tiang yang lain. Inilah keajaiban Masjid Agung yang akhirnya didirikan di kota Demak.  

 

----oooo0000oooo----

 

 

 

3

 

 

 

LEGENDA  SENDANG  COYO

 

DICERITAKAN  KEMBALI

(  SECARA  SINGKAT  )

 

 

 

OLEH

 

LMDH  JATI  LESTARI

DESA  MLOWOKARANGTALUN

BKPH  PANUNGGALAN

KPH  GUNDIH

HP  :  081 325 890 529

 

 
 

 

 

 

 

 

WILAYAH

KECAMATAN  PULOKULON

KABUPATEN  GROBOGAN